Lalu benarkah Prof. Dr. Quraish Shihab orang syi’ah?
Setelah penulis telusuri, sungguh sangkaan itu sepertinya jauh dari benar. Terlebih Quraish Shihab sendiri pernah berfatwa tentang syi’ah. Lalu bagaimana isi fatwanya? Di dalam buku ‘Fatwa-Fatwa; Seputar Wawasan Agama’ yang dikarangnya, Quraish Shihab ditanya tentang perbedaan antara ahlussunnah dengan syi’ah.
“Kiranya Bapak dapat menjelaskan kepada kami dengan terperinci tentang makna ahlussunnah dan syi’ah serta perbedaan antara keduanya. Oleh karena itu, selama ini sangat marak di daerah kami diskusi yang sering mengakibatkan pertengkaran dan permusuhan yang tidak jarang merembet kepada orang tua,” demikian pertanyaan Ahmad Munif, dkk dari Pekalongan dalam buku tersebut.
Dalam menjelaskan ahlussunnah dan syi’ah, Quraish Shihab menukil pendapat Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi dalam al-Furqan baina al-Firaq. Bahwa, ada delapan macam golongan ahlussunnah dan ada lima belas prinsip pokok yang harus terpenuhi. Prinsip-prinsip itu pun belum tentu disepakati, namun demikian mereka tidak saling mengafirkan atau sesat-menyesatkan.
Demikian pula syi’ah, terbagi menjadi puluhan kelompok. Oleh pengarang al-Farqu baina al-Firaq membaginya menjadi empat kelompok besar yang hanya dua saja yang bisa dimasukkan ke dalam umat Islam.
Perbedaan Ahlussunnah dan Syi’ah
Banyak perbedaan antara ahlussunnah dan syi’ah, baik dalam perkara ushul ataupun furu’. Dalam banyak perbedaan itu, Quraish Shihab pun menyebutkan tiga perbedaan besar antara ahlussunnah dan syi’ah, yaitu imamah, sikap terhadap sahabat Nabi, dan sikap terhadap pemerintah.
Sambil menyetir perkataan Muhammad Husain Kasyif al-Ghitha’, tokoh syiah kenamaan, penulis tafsir al-Mishbah ini menyatakan bahwa imamah adalah “suatu jabatan yang bersumber dari Tuhan seperti kenabian, yakni sebagaimana Tuhan memilih siapa yang dikehendaki dari hamba-hambaNya untuk tugas kenabian dan kerasulan yang didukungNya dengan mukjizat yang menjadi sebagai nash dari Tuhan untuknya.… Imamah berkelanjutan sampai dua belas. Setiap pendahulu menetapkan imam berikutnya. Dan mereka disyaratkan ma’shum dari kesalahan dan dosa sebagaimana Nabi, karena kalau tidak, tentulah kepercayaan akan hilang. (Kasyif al-Ghitha’, h. 103)
Jika dibandingkan dengan ahlussunnah terhadap pemahaman imamah syi’ah di atas. Maka, sebenarnya kedua belas tokoh yang diakui oleh kelompok Imamiyah juga mendapat tempat terhormat di kalangan ahlussunnah. Akan tetapi, tugas-tugas imamah yang disandangkan kepada mereka diyakini oleh ahlussunnah sebagai amat berlebihan. Disamping itu, sebagian dari ucapan-ucapan yang dinisbahkan kepada mereka sebagai hal-hal yang mengada-ada.
Demikian juga, dari keyakinan syi’ah terhadap imamah itu setidaknya ada tiga butir yang tidak bisa diterima oleh ahlussunah. Pertama, bahwa Nabi belum menyampaikan seluruh ajaran, ada yang disembunyikan untuk imamnya. Kedua, imam berwenang untuk mengecualikan apa yang disampaikan Rasulullah. Ketiga, imam memiliki kedudukan yang sama dengan nabi.
Kemudian perbedaan yang kedua, yaitu mengenai sikap terhadap sahabat Nabi; pengarang tafsir al-Mishbah ini pun menjelaskan bahwa ahlussunnah meyakini bahwa seluruh sahabat Nabi memiliki sifat ‘adalah. Sebaliknya, syi’ah tidak menerima hal itu. Mereka hanya menerima apa yang bersumber dari imam-imam mereka. Adapun hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Nabi semisal Abu Hurairah, Samurah bin Jundub, dan lainnya semua ditolak. Bahkan, mereka menilai sebagian sahabat Nabi adalah pembohong atau orang-orang munafik. Bukan itu saja, bahkan sebagian mereka mengutuk para sahabat yang dianggap melakukan pelanggaran agama, atau merampas hak kekhalifahan dari imam Ali bin Abi Thalib.
Quraish Shihab Memperingatkan Pemerintah agar Mewaspadai Aksi Revolusi Syi’ah
Perbedaan yang ketiga yang dijelaskan Quraish Shihab antara ahlussunnah dan syi’ah adalah sikapnya kepada pemerintah. Ahlussunnah dalam masalah hubungan Pemerintah dengan rakyat memiliki pemahaman yang tawazun dan mutawassit. Memang benar, bahwa ahlussunnah dan syiah, keduanya mensyarakat agar pemimpin itu harus bisa berbuat adil.
Namun demikian, ahlussunnah ketika menyikapi pemerintahan yang zalim tidak serta merta memerintahkan untuk memberontak. Sikap memberontak bagi ahlussunnah atas pemimpinnya itu sangat diminimalisir sedemikian rupa, kecuali bila melihat kekufuran yang amat nyata dan ada alasan pembenaran yang pasti dari Allah dari perilaku pemimpinnya itu. Hal itu didasari agar tidak terjerumus pada mudarat yang lebih besar, yaitu kekacauan. Oleh karenanya, ahlussunnah memiliki prinsip “Pemerintah yang berlaku aniaya lebih baik daripada kekacauan. Keduanya tidak ada segi kebaikannya, namun dalam kejelekan pun terdapat pilihan.”
Pandangan ini berbeda dengan keyakinan syi’ah. Mereka tidak bersedia bekerjasama dengan pemerintah yang aniaya sedikitpun. Akibatnya, mereka tidak segan-segan memberontak kepada pemerintah yang ada. Bahkan Khomeini memperingatkan para ulama syi’ah untuk tidak segan-segan mengangkat senjata. Atas dasar ini, maka kita akan menjumpai banyak sekali pemberontakan yang dikobarkan oleh Syi’ah dari dahulu hingga sekarang sehingga negeri itu menjadi kacau, tak menentu.
Akhirnya terhadap tiga perbedaan ini, Quraish Shihab pun memberikan nasehat agar tidak memaparkan kepada masyarakat sesuatu yang dapat menimbulkan keresahan.
“Kalaupun –seandainya- kita menoleransi sebagian ajaran-ajarannya (ajaran-ajaran syi’ah), yang pasti, bila itu dipaparkan kepada masyarakat, maka akan timbul keresahan dan penolakan,” paparnya.
Bahkan, Quraish Shihab pun meminta pemerintah untuk mewaspadai aksi revolusi Syi’ah dengan menjelaskan:
“Kewajiban pemerintah antara lain adalah memelihara ketenangan masyarakat sehingga tidak terusik dengan aliran atau pandangan yang tidak sejalan dengan pandangan mereka. Ini belum lagi jika diduga akan adanya ekspor revolusi atau memfungsikan ulama dan ahli-ahli fikih sama dengan fungsi yang digariskan di atas, yaitu memikul senjata dan mengumumkan perang.”
Wallahu a’lam
Oleh: Ibram Han