Ibnu Taimiyah adalah salah seorang ulama yang hidup pada masa silam. Kepakaran dan luasnya ilmu yang beliau miliki disegani oleh kawan ataupun lawan. Salah satu kitab beliau yang terkenal adalah Minhajus Sunnah an-Nabawiyah. Kitab ini adalah sebuah kitab bantahan atas kitab Minhajul Karamah yang ditulis oleh Ibnu Muthahhir yang berhaluan rafidhah dengan lengkap dan telak. Akibatnya, kitab ini menjadi kitab yang paling dibenci oleh orang-orang syi’ah pada umumnya dan rafidhah khususnya.
Namun demikian, sebagai sebuah karya manusia tentu ada beberapa kekurangan dalam penyusunannya. Oleh karenanya, Ibnu Hajar memberikan penilaian atas kitab itu, sebagaimana terekam dalam Lisan al-Mizan 6/319 sebagai berikut:
“Aku (Ibnu Hajar) telah mempelajari kitab bantahan Ibnu Taimiyyah tersebut (kepada syi’ah), maka aku menemukan sebagaimana ucapan as-Subki di dalam al-Istifaa. Akan tetapi aku menemukan Ibnu Taimiyyah terlalu berlebihan di dalam menolak hadis-hadis yang ditampilkan Ibn al-Muthahhar, meskipun kebanyakannya dari hadis maudhu’ dan lemah, akan tetapi Ibnu Taimiyyah banyak menolak hadits-hadis jayyid yang luput dari pandangannya ketika menulis kitab tersebut, karena memang Ibnu Taimiyyah luas hafalannya, ia mengandalkan hafalan di dadanya, sedangkan manusia itu sangat rentan lupa. Berapa banyak sikap berlebihan di dalam membantah Rafidhah, terkadang menyebabkannya terhadap sikap mencacat Ali ra..“
Namun sayang, kritik membangun Ibnu Hajar al-Asqalani ini banyak disalahpahami atau sengaja disalahpahami oleh orang-orang yang tak bertanggungjawab terlebih syi’ah rafidhah untuk menilai bahwa Ibnu Taimiyah sangat membenci dan merendahkan sahabat Ali bin Abi Thalib ra. secara mutlak, bahkan tak segan menuduhnya sebagai orang munafik.
Benarkah Ibnu Taimiyah tidak menghormati sahabat Ali dalam kitab beliau Minhajus Sunnah? Oleh karena itu tanpa mengurangi rasa hormat kepada yang menuduh hal itu, mari kita lihat bagaimana Ibnu Taimiyah memandang khalifah keempat Islam setelah Rasulullah ini dalam kitab Minhajus Sunnah an-Nabawiyah.
1. Kedudukan Ali di Antara Para Sahabat
Sebagaimana disebutkan dalam Minhajus Sunnah an-Nabawiyah 6/328-329 disebutkan.
وعلي رضي الله عنه لم يقاتل أحدا على إمامة من قاتله, ولا قاتله أحد على إمامته نفسه, ولا ادعى أحد قط فى زمن خلافته أنه أحق بالإمامة منه: لا عائشة, ولا طلحة, ولا الزبير, ولا المعاوية وأصحابه, ولا الخوارج, بل كل الأمة كانوا معترفين بفضل علي وسابقته بعد قتل عثمان, وأنه لم يبق فى الصحابة من يماثله فى زمن خلافته
"Ali ra. tidaklah memerangi seseorang karena tidak menerima kepemimpinan orang tersebut, dan juga tidak seorangpun yang memerangi Ali karena tidak setuju dengan kepemimpinan beliau. Dan di masa khilafah beliau tidak seorangpun yang mengaku bahwasanya ia lebih berhak untuk memimpin daripada Ali, tidak seorangpun, tidak Aisyah, tidak juga Talhah, tidak juga Az-Zubair, tidak juga Mu'aawiyah dan para sahabatnya, dan tidak juga khawarij. Bahkan seluruh umat mengakui kemuliaan Ali dan kedepanan beliau setelah terbunuhnya Usmaan, dan bahwasanya tidak ada yang tersisa di kalangan para sahabat orang yang semisal Ali di zaman kepemimpinan beliau."
Beliau juga berkata dalam jilid yang sama halaman 330 sebagai berikut.
وليس فى الصحابة بعدهم* من هو أفضل منه, ولا تنازع طائفة من المسلمين بعد خلافة عثمان في أنه ليس فى جيش علي أفضل منه. لم تفضل طائفة معروفة عليه طلحة والزبير, فضلا أن يفضّل عليه معاوية.
فإن قاتلوه مع ذلك لشبهة عرضت لهم, فلم يكن القتال له لا علي أن غيره أفضل منه, ولا أنه الإمام دونه. ولم يتسم قط طلحة والزبير باسم الإمارة, ولا بايعهما أحد على ذلك.
“Dan tidak seorangpun dari kalangan sahabat setelah mereka (Abu Bakar, Umar, dan Utsman-pent) yang lebih mulia daripada Ali. Dan tidak ada sebuah kelompokpun dari kaum muslimin yang menyelisihi bahwasanya setelah khilafahnya Usman tidak ada seorangpun di pasukannya Ali yang lebih mulia daripada Ali. Tidak ada satu kelompokpun yang ma'ruf yang menyatakan Talhah dan Zubair lebih mulia daripada Ali, apalagi menyatakan bahwa Mu'aawiyah lebih mulia daripada Ali.
Meskipun demikian mereka memerangi Ali karena ada syubhat yang mendatangi mereka. Mereka tidaklah memerangi Ali karena ada orang lain yang lebih mulia daripada Ali, atau ada orang lain yang merupakan Imam selain Ali. Talhah dan Zubair sama sekali tidak menamakan diri mereka dengan nama kepemimpinan, dan tidak seorangpun yang membai'at mereka berdua karena kepemimpinan.” (Minhaajus Sunnah 6/330)
Bahkan disebutkan dalam jilid 4 halaman 396 sebagai berikut.
“Bukanlah dari golongan Ahlus sunnah orang yang menjadikan permusuhan kepada Ali merupakan ketaatan dan juga bukan Ahlus Sunnah orang yang menjadikan kebencian kepada Ali merupakan kebaikan, dan juga bukan Ahlus Sunnah orang yang memerintahkan untuk benci kepada Ali.
Juga bukanlah Ahlus Sunnah orang yang menjadikan semata-mata kecintaan kepada Ali merupakan keburukan dan kemaksiatan dan juga bukan Ahlus Sunnah orang yang tidak melarang hal ini.
Kitab-kitab Ahlusunnah dari seluruh golongan berisi penyebutan tentang keutamaan-keutamaannya, keistimewaan-keistimewaannya serta celaan terhadap orang-orang yang mendholiminya dari seluruh firqah.
Bahkan mereka seluruhnya sepakat bahwa Ali memiliki kedudukan yang lebih mulia disisi Allah dan Rasul-Nya dan kaum mukminin daripada Muawwiyah, bapaknya dan saudaranya – yang mana ia(saudaranya ini) lebih baik dari dia(Muawwiyah). Ali lebih utama dari orang yang lebih utama dari Muawwiyah ra. Demikian juga As Saabiqunal Awaluun yaitu orang-orang yang berbait di bawah pohon (maksudnya para sahabat yang ikut bait ridhwan -pent) mereka semuanya lebih baik daripada para sahabat yang masuk islam ketika fathul Mekkah, pada mereka itu ada orang-orang yang lebih utama dari Muawwiyah, dan orang-orang yang berbait di bawah pohon lebih utama dari mereka itu semua, dan Ali lebih utama dari mayoritas para sahabat yang berbait di bawah pohon bahkan lebih baik dari mereka semua kecuali dari tiga orang. Tidak ada pada ahlussunnah yang menganggap adanya seorang yang lebih utama daripada Ali selain tiga orang (Abu Bakar, Umar dan Utsman –pent). Bahkan mereka mengutamakan Ali di atas seluruh mayoritas sahabat yang ikut perang badar, baiatul ridhwan dan di atas orang –orang yang pertama-tama masuk islam dari kalangan muhajirin dan anshar.” (Minhaajus Sunnah 4/396)
2. Keutamaan Ali atas Muawiyah Radhiyallahu Anhuma
Beliau juga berkata dalam jilid keempat halaman
وجماهير أهل السنة متفقون على أن عليا أفضل من طلحة والزبير, فضلا عن معاوية وغيره. ويقولون*: إن المسلمين لما افترقوا فى خلافته فطائفة قاتلته فطائفة قاتلت* معه, كان هو وأصحابه أولى الطائفتين بالحق, كما ثبت فى الصحيحين* عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال "تمرق مارقة على حين فرقة من المسلمين, يقتلهم أولى الطائفتين بالحق". فهؤلاء هم الخوارج المارقون الذين مرقوا فقتلهم عليّ وأصحابه, فعلم أنهم كانوا أولى بالحق من معاوية رضى الله عنه وأصحابه.
“Mayoritas Ahlus Sunnah sepakat bahwasanya Ali lebih mulia daripada Talhah dan Zubair, apalagi Mu'awiyah dan yang lainnya. Dan mereka berkata: Tatkala kaum muslimin terpecah di zaman Ali sehingga ada sekelompok memerangi Ali dan sekelompok yang lainnya berperang bersama (membela) Ali, maka Ali dan para pengikutnya adalah kelompok yang lebih utama di atas kebenaran daripada kelompok yang lainnya. Hal ini sebagaimana telah sah dalam shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Nabi saw. bahwasanya beliau bersabda:
"Akan keluar suatu kelompok tatkala kaum muslimin terpecah, kelompok yang keluar tadi akan diperangi oleh salah satu dari dua kelompok kaum muslimin yang lebih utama di atas kebenaran"
Kelompok yang keluar tersebut adalah khawarij yang keluar dari agama maka merekapun diperangi oleh Ali dan para pengikutnya. Maka diketahui bahwasanya kelompok Ali lebih utama di atas kebenaran dari Mu'awiyah dan para pengikutnya.” (Minhaajus Sunnah 4/358)
3. Keutamaan Ali
Selain menjelaskan kedudukan sahabat Ali bin Abi Thalib, Ibnu Taimiyah juga menjelaskan keutamaan beliau dalam kitabnya, seperti jilid 8 halaman 165.
فضل علي وولايته لله وعلوّ منزلته عند الله معلوم*, ولله الحمد, من طرق ثابتة أفادتنا العلم اليقينى, لا يحتاج معها إلى كذب ولا إلى ما لا يعلم صدقه.
“Keutamaan Ali dan kewaliannya bagi Allah serta tingginya manzilahnya di sisi Allah merupakan perkara yang sudah maklum (diketahui) -alhamdulillah- dari jalan-jalan (riwayat-pen) yang valid (sah) yang memberikan keyakinan, sehingga tidak membutuhkan (riwayat) dusta atau riwayat-riwayat yang tidak diketahui kebenarannya.” (Minhaajus Sunnah 8/165)
Beliau juga berkata dalam jilid 7 halaman 218.
وأما عليّ رضي الله عنه فلا ريب أنه ممن يحب الله ويحبه الله
“Adapun Ali ra tidak diragukan lagi bahwa dia termasuk orang yang mencintai Allah dan yang dicintai Allah.” (Minhaajus Sunnah 7/218)
4. Pujian atas Keberanian dan Kezuhudannya
Selain itu, Ibnu Taimiyah juga memuji keberanian dan kezuhudan Ali bin Abi Thalib, sebagaimana terekam dalam kitab beliau Minhajus Sunnah sebagai berikut.
“Tidak diragukan bahwa Ali ra. termasuk sahabat yang gagah berani, termasuk orang yang mana dengan jihadnya Allah telah menolong Islam, dia juga termasuk seniornya orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama masuk islam dari kalangan Muhajirin dan Anshar, dan termasuk pemimpin orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berjihad dijalan Allah serta termasuk orang yang telah membunuh sejumlah besar dari orang-orang kafir dengan pedangnya.” (Minhaajus Sunnah 8/76)
أما زهد علي رضي الله عنه فى المال فلا ريب فيه
“Adapun kezuhudan Ali terhadap harta maka sesuatu yang tidak diragukan lagi, …” (Minhaajus sunnah 7/489)
Demikianlah beberapa pujian yang ditulis Ibnu Taimiyah atas sahabat mulia Rasulullah, Ali bin Abi Thalib. Masih banyak lagi sebenarnya jika disebutkan semuanya. Setelah melihat pujian-pujian Ibnu Taimiyah atas sahabat Ali bin Abi Thalib yang begitu banyak dan beragam dalam kitab Minhajus Sunnah an-Nabawiyah di atas, sungguh tidak bijak jika kita masih meragukan kecintaan beliau atas menantu Rasulullah saw. tersebut. Namun jika masih dirasa kurang mencukupi, pembaca bisa membaca kitab beliau yang lain seperti dalam Majmu’ Fatawa yang juga banyak bertebaran pujian dan keutamaan sahabat Ali bin Abi Thalib ra.. Atau bisa juga melihat komentar dari Ibnu Hajar al-Asqalani berikut:
“Tidak ternukil dari salah seorang ulama pun bahwa mereka memberikan fatwa tentang kemunafikan Ibnu Taimiyyah. Tidak pula ada dari para ulama yang menghalalkan darah beliau. Padahal di negeri beliau, banyak diantara mereka yang terjangkit penyakit ta’ashub ketika itu, hingga beliau pernah dipenjarakan di Kairo lalu dipindahkan ke Iskandariyah. Namun demikian, seluruh ulama (baik yang sepaham maupun yang berseberangan –pen-) mengakui keluasan ilmu, sifat wara’, zuhud, kedermawanan, keberanian, perjuangan beliau dalam membela Islam dan dakwah beliau di jalan Allah baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan."Sumber : Pustaka Madrasah