'Wahabi' di Mata Orang Aceh

'Wahabi' di Mata Orang Aceh

Istilah “Wahabi” bukanlah istilah baru yang asing bagi masyarakat muslim, khususnya masyarakat Aceh yang kental rasa keagamaannya jika dibanding dengan daerah lain di Nusantara. Istilah wahabi itu sendiri telah muncul dalam literatur sejarah pada seputaran abad ke 18 Masehi atau selaras dengan abad ke 12 Hijriah, telah berlalu dua abad dari sekarang.

Syaikh Muhammad bin Manzhur An-Nu’mani sebagaimana dikutip oleh Ruray (2011: 38) mengungkapkan bahwa penjajah Inggris-lah yang pertama sekali memunculkan term wahabi dan dialamatkan kepada para pejuang mujahidin yang dipimpin oleh Ulama Deoband di India. Hal itu dilakukan oleh Inggris akibat kerasnya perlawanan ulama Deoband terhadap penjajahan Inggris. Sikap anti penjajahan yang dilakoni oleh para mujahidin Deoband ketika itu sedikit banyaknya juga dipengaruhi oleh dakwah tauhid yang dikampanyekan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab di Saudi Arabiya.

Menurut Nasution (1996: 23), pemikiran yang dicetuskan oleh Muhammad bin Abdul Wahab ketika itu merupakan reaksi terhadap rusaknya faham tauhid di kalangan umat Islam, khususnya di Saudi Arabiya. Ketika itu kaum muslimin telah terjerumus ke dalam kesyirikan dan bid’ah yang merajalela. Dikisahkan bahwa pada saat itu orang-orang sudah tidak lagi berdoa kepada Allah, tetapi mereka meminta pertolongan, kekayaan, kesembuhan dan berbagai permohonan lainnya kepada kuburan syaikh-syaikh tarekat dan para wali yang telah meninggal. Fenomena ini-lah yang akhirnya menjadi pemicu lahirnya gerakan pemurnian yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab.

Pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab pada prinsipnya juga merupakan kelanjutan dari dakwah Salafiah yang dipopulerkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, seorang ulama besar dari Damaskus. Abu Mujahid dan Haneef Oliver (2010: 44) mengisahkan bahwa Muhammad bin Abdul Wahab banyak menyalin dan menela’ah karya-karya Ibn Taimiyah dan muridnya Ibn Qayyim Al-Jauziyah sehingga konsep tauhid yang diserukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab banyak menyerupai pemikiran tauhid Ibn Taimiyah.

Nasution (1986a: 96) juga menegaskan bahwa gerakan yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab di Saudi Arabiya pada perkembangan selanjutnya telah membawa pengaruh besar terhadap pemikiran dan pembaharuan yang timbul di periode modern. Di antara sejumlah tokoh yang terinspirasi oleh pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab adalah Muhammad Abduh dan muridnya Rasyid Ridha.

Khususnya di Indonesia, pengaruh gerakan Wahabi pertama sekali masuk ke Indonesia melalui ulama-ulama di Sumatera Barat pada abad ke 19 Masehi. Dakwah yang digerakkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab membawa pengaruh besar terhadap gerakan kaum Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol dalam mengusir penjajah Belanda di Sumatera Barat. Di samping itu pengaruh Muhammad bin Abdul Wahab juga merambah dalam beberapa organisasi besar di Indonesia, di antaranya Muhammadiyah, Persis dan Al-Irsyad (Al-Thalibi, 2006: 10).

Seperti halnya di daerah lain, pengaruh Muhammad bin Abdul Wahab juga terasa di Aceh, khususnya di era perjuangan kemerdekaan. Di antara tokoh dan ulama Aceh yang terpengaruh dengan dakwah Muhammad bin Abdul Wahab adalah Tgk. Daud Beureu-eh, Tgk. Hasbi Ash-Shiddiqie, Ayah Hamid Samalanga, Tgk. Hasballah Indrapuri dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lainnya yang tidak mungkin disebut satu-persatu. 

Tgk. Hasballah Indrapuri adalah tokoh yang paling gencar melakukan pemurnian akidah umat, khususnya di Aceh Besar. Kitab pegangan beliau adalah Kitab Tauhid karangan Muhammad bin Abdul Wahab (Lembaga Research dan Survey IAIN Ar-Raniry, 1978: 34).

Di samping itu, masuk dan berkembangnya beberapa organisasi berhaluan modernis di Aceh, seperti Syarikat Islam, Muhammadiyah dan Al-Irsyad juga menjadi bukti bahwa masyarakat Aceh sebenarnya telah akrab dengan gerakan Wahabi.

Tokoh lainnya yang memiliki banyak kontribusi terhadap perkembangan ilmu Fiqh di Aceh adalah Tgk. Hasbi Ash-Shiddiqie. Beliau adalah ulama Aceh yang pernah belajar di Al-Irsyad Surabaya dan pernah menjabat sebagai direktur Madrasah Al-Irsyad cabang Lhokseumawe (Ismuha dalam Taufiq Abdullah, 1983 : 26). Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Al-Irsyad adalah salah satu organisasi yang banyak terpengaruh dengan gerakan Wahabi.

Wahabi dalam Pandangan Masyarakat Aceh

Setelah menikmati sajian singkat di atas tentang asal-usul dan perkembangan gerakan Wahabi, baik di dunia Islam secara umum, di Indonesia dan di Aceh secara khusus, teranglah bahwa gerakan Wahabi yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab yang kemudian di sambut oleh ulama di Sumatera Barat dan disahuti pula oleh para tokoh bangsa melalui berbagai organisasi Islam seperti Syarikat Islam, Muhammadiyah, Persis dan Al-Irsyad telah jua mengalir melalui nadi para ulama Aceh tempo dulu dan turut menjadi bagian dari corak pemikiran keagamaan di Aceh.

Lantas bagaimana tanggapan masyarakat Aceh hari ini ketika mendengar nama Wahabi? Satu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian masyarakat Aceh menjadi merah mukanya ketika mendengar nama Wahabi disebut di hadapan mereka. Hal ini wajar-wajar saja, mengingat kondisi keagamaan sebagian masyarakat Aceh telah terbelenggu dengan fanatisme alias ta’ashub terhadap satu mazhab saja dan cenderung “menolak” mazhab lain, sehingga memunculkan sikap jumud dan bekunya pemikiran.

Di samping itu, di sebagian tempat – provokasi terhadap Wahabi juga kian gencar dilakukan di forum-forum keagamaan seperti Khutbah Jum’at, Perayaan Maulid dan juga pengajian di sebagian mesjid dan menasah di Aceh. Stigma sesat terhadap Wahabi terus dihembuskan di beberapa tempat sehingga melahirkan paradigma keliru di tengah masyarakat Aceh terhadap orang-orang yang menurut mereka berfahaman Wahabi. Kebencian berlebihan yang tertanam di benak sebagian masyarakat Aceh terhadap Wahabi pada akhirnya akan menjalar ke dalam berbagai persoalan lainnya, khususnya dalam praktek beragama.

Tragisnya lagi perbedaan dalam persoalan furu’iyah terkadang juga memunculkan stigma-stigma sesat terhadap Wahabi yang oleh sebagian teungku di Aceh dianggap telah keluar dari barisan Ahlussunnah Waljam’ah. Padahal jika diteliti secara ilmiah-objektif, banyak pendapat-pendapat Wahabi yang selaras dengan pemahaman Abu Hasan Al-Asy’ari yang oleh mayoritas masyarakat Aceh dianggap sebagai imam-nya Ahlussunnah Waljama’ah – meskipun tidak dapat dipungkiri dalam sebagian perkara juga terdapat perbedaan yang tajam.


Menurut penulis, perbedaan pemahaman antara Wahabiyah dengan Asy’ariyah tidak-lah menjadi tolok ukur untuk mengeluarkan Wahabi dari lingkungan Ahlussunnah Waljama’ah. Logikanya, dalam beberapa pendapatnya, Abu Mansur Al-Maturidi juga memiliki pandangan yang bertolak belakang dengan Asy’ari dan malah lebih menjurus kepada pendapat Mu’tazilah, hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Nasution (1986b: 76-78). Lantas haruskah kita mengeluarkan Abu Mansur dari Ahlussunnah Waljama’ah? Jawabannya, tentu tidak.

Paradigma keliru terhadap Wahabi hendaknya dapat dihilangkan secara perlahan dari benak sebagian masyarakat Aceh yang mungkin selama ini telah terdoktrin pikirannya sehingga melahirkan sikap yang keliru. Hal ini penting untuk diperhatikan, khususnya para teungku kita agar bisa bersikap objektif dalam menyampaikan sebuah informasi kepada masyarakat. Di samping itu pihak MPU juga harus mampu bersikap arif dan bijak dalam menyikapi perbedaan yang terjadi di tengah masyarakat.

Mimbar jumat seharusnya menjadi media untuk mempersatukan umat, jangan sebaliknya malah digunakan untuk memporak-porandakan persatuan umat Islam, khususnya di Aceh yang sekarang sedang gencarnya melaksanakan Syari’at Islam. Wallahu Waliyut Taufiq.

Oleh: Khairil Miswar
Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Harian Waspada Medan
Sumber



Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Back To Top