ROBERT Frager seorang pengikut Tarekat Jerahi (turunan tarekat Jalaluddin Rumi) dalam bukunya Heart, Self and Soul, menuliskan kisah perjalanan pemuda yang ‘alim ke sebuah pulau. Di pulau tersebut ia berjumpa dengan ahli ibadah yang sudah tua sedang merafalkan zikir-zikir tertentu yang konon dapat membuat orang berjalan diatas air. Sarjana ini mendengar si kakek keliru dalam bacaan zikirnya, sehingga ia pun mengajarinya. Si kakek bercerita bahwa zikir tersebut sudah dia amalkan bertahun-tahun.
Pemuda itu kemudian memberi tahu bahwa jika si kakek mampu mengamalkannya dengan baik, ia akan dapat berjalan di atas air. Alkisah kemudian si pemuda tersebut kembali dari pulau dengan menggunakan perahu. Tiba-tiba dari arah pulau ia melihat sang kakek berlari di atas air sambil berusaha mengejarnya. Si kakek kemudian berkata: “Tunggu anak muda. Tolong ajari aku sekali lagi bagaimana bacaan yang benar dari zikir tadi!”
Hikmah dari cerita ini adalah terkadang “kekeramatan”, bukan sekadar persoalan “ketepatan bacaan”, namun juga keseriusan, kesungguhan dan keistiqamahan. Walau bacaan sang kakek salah-salah, namun ia memperoleh kekeramatan dengan berjalan di atas air, karena keistiqamahannya dalam beramal. Sebaliknya, pemuda tersebut walaupun dia memiliki kemampuan melafalkan bacaan zikir dengan tepat, namun ia masih harus duduk di atas perahu karena tidak adanya keistiqamahan dalam mengamalkan ilmu.
Pergeseran Makna
Dulu, ketika masih kuliah S1 di UIN Bandung saya sempat tinggal di pesantren mahasiswa di kawasan yang cukup asri, Pesantren Al-Ihsan, Cibiru Hilir. Pesantren tersebut dipimpin oleh KH Tantan Taqyuddin, seorang Ahlussunnah Waljamaah tulen yang banyak menyerap ide-ide perjuangan Hasan Al-Banna dan Ikhwanul Muslimin.
Menurut beliau, ada kesalahan orang-orang dalam memahami Ahlussunnah Waljamaah khususnya dalam lingkup keindonesiaan. Ada pergeseran makna dari ahlussunnah yang dipahami dalam literatur-literatur Islam dengan term ahlussunnah yang beredar di masyarakat. Jika dalam literatur-literatur klasik ahlussunnah adalah aliran teologi Abu Hasan Al-Asy’ari, maka term yang beredar di Indonesia agak sedikit berbeda.
Ahlussunnah (seperti yang sering dipahami oleh kelompok-kelompok lain) adalah para pengkaji kitab kuning, yang tajam analisis nahu, sharaf, mantiq, ma’ani dan bayan-nya, namun sering begadang, kuku panjang, malas berjamaah (apalagi shalat sunnah), berambut panjang, Shubuh kesiangan, merokok, bicara kasar dan jarang mandi.
Selain itu ahlussunah sering juga dikenal lemah kemampuan tahsin maupun tahfidhul Quran-nya. Walaupun kita sebagai ahlussunnah tidak setuju, namun term ini telah menjadi umum dan diam-diam kita pun mengakuinya sebagai sebuah realita.
Sering kita temukan orang-orang yang mengklaim diri sebagai ahlussunnah, justru jauh dari sunnah-sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Tidak jarang sebagian dari mereka malah terkadang membenci jenggot dan gaya berpakaian ala Rasul. Sering juga kita temukan mereka yang shalat Shubuhnya telat, malas berjamaah apalagi shalat Rawatib. Mereka terkadang sibuk membicarakan orang-orang yang bertarawih delapan rakaat, namun dia sendiri belum tentu melaksanakan shalat Tarawih.
Anehnya, justru mereka yang diklaim sebagai orang-orang yang keluar dari ahlussunah (secara lahiriah) terlihat lebih mempraktikkan prilaku-prilaku sunnah Nabi saw maupun para sahabat. Mereka ke mana-mana membawa Alquran, mulutnya komat-kamit melakukan tahfidh, di labi-labi, di teras-teras masjid, di kampus dan di mana saja. Mereka juga giat shalat berjamaah plus Rawatibnya. Rata-rata mereka memiliki target amalan apa yang dia lakukan di hari ini, misalnya seperti tilawah setengah juz sehari, bersedekah, shalat Dhuha, al-maksurat pagi dan sore dan memelihara wuhdu. Walaupun saking semangatnya ada yang sampai baca kitab suci Alquran tanpa berwudhu lebih dulu.
Orang-orang yang diklaim sebagai anti-sunnah, malah bertutur kata lebih lembut (walau sering dituduh munafik), semangat mengajinya dan cenderung berhati-hati terhadap hal-hal yang subhat. Apalagi yang sampai menjurus kepada keharaman dan apalagi sampai berbau kemusrikan. Kehati-hatian itu tentu tidak sepenuhnya salah, bukankah hadis mengatakan untuk meninggalkan apa yang kita ragu dan melakukan apa yang tidak diragukan? Ketika mereka meragukan kesahihan beberapa tradisi, maka wajar jika kemudian mereka enggan untuk mengamalkannya.
Tak Menutup Diri
Konsep ahlussunnah yang “nyunnah” menurut KH Tantan Taqyuddin adalah mereka yang tidak hanya mempertahankan tradisi-tradisi baik dalam lingkungan Ahlussunnah Waljamaah, namun juga menyerap tradisi-tradisi baik dari luar. Orang Ahlussunnah Waljamaah harus memiliki kesalehan yang sama, kalau perlu kesalehan yang lebih dari yang lain. Orang-orang Ahlussunnah Waljamaah tidak boleh menutup diri dari amalan-amalan saleh karena yang menjadi tinjauan kelak di hari kiamat adalah ketakwaan, bukan sekadar pengetahuan. Ilmu agamamestilah luas, analisis teks Arab juga mesti mumpuni. Namun semua itu akan terasa nihil jika tidak dibarengi dengan peningkatan amal saleh, tutur kata yang lembut serta menjauhi kesyubhatan-kesyubhatan.
Ahlussunnah Waljamaah yang baik adalah seorang yang mampu menyerap sisi-sisi positif dari mana saja, menghargai perbedaan dan bersikap progresif. Seorang Ahlussunnah Waljamaah yang baik adalah mereka yang berani tampil sebagai Ahlussunnah Waljamaah yang profesional, bukan cuma sekadar kedok. Seorang Ahlussunnah Waljamaah yang baik adalah mereka yang mempertahankan tradisi cinta Rasul, shalawatan dan tradisi-tradisi lainnya serta bersikap kritis dan mampu mengembangkannya menjadi lebih inovatif, lebih santun dan lebih dapat diterima semua kalangan.
Seorang Ahlussunnah Waljamaah yang baik adalah mereka yang berilmu pengetahuan luas, berprilaku santun, takzim dan hormat pada guru, melek teknologi, paham dengan politik dan mudah beradaptasi. Seorang Ahlussunnah Waljamaah yang baik adalah mereka yang tawadhu’ dan menyadari bahwa di atas langit masih ada langit, sehingga ia mau belajar dan tidak menutup diri. Seorang Ahlussunah Waljamaah yang baik adalah mereka yang patuh dan kritis, serta mengikuti hal-hal yang baik dan meninggalkan perkara-perkara buruk, subhat atau yang lagha (sia-sia). Semoga!
Ditulis oleh Ramli, Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry (prodi Pemikiran dalam Islam), alumnus UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dan alumnus Santri Ponpes Darul Hasanah Syekh Abdurrauf Singkil dalam aceh.tribunnews.com, edisi 26 Oktober 2015.