"Subhanallah", sahut beliau, "Bagaimana mungkin aku tak mau shalat di belakang Ats Tsauri, Al Auza'i, dan Imam Malik?" Masyaallah. Ini karena Imam Sufyan Ats Tsauri, Imam Al Auza'i, dan Imam Malik rahimahumullah berpendapat bahwa keluar darah semacam ini tidaklah membatalkan wudhu'.
Hadhratusy Syaikh Muhammad Hasyim Asy'ari menulis satu pendapat di jurnal yang diterbitkan NU tentang hukum pemakaian kenthongan untuk memanggil shalat. Beliau menyatakan, jika bedhug masih ditoleransi karena adanya hadits tentang kebolehan menabuh 'duff', maka kenthongan sungguh merupakan bid'ah sebab tidak ada dalil yang dapat mengukuhkannya.
Beliau juga menyatakan, jika orang Yahudi mempergunakan terompet dan orang Nashrani mempergunakan lonceng, ummat Islam tidak perlu tasyabbuh dengan bebunyian semacam kenthongan untuk memanggil shalat.
Adzan telah cukup. Adalah Wakil Rais Akbar, KH Muhammad Faqih Maskumambang menulis artikel pada jurnal yang sama di edisi berikutnya, menyatakan bahwa hukum kenthongan adalah "tidak mengapa".
Pertama, karena hukumnya diqiyaskan dengan hukum bedhug. Kedua, karena syarat tasyabbuh tidak terpenuhi. Ketiga, karena pemukulan kenthongan dan bedhug itu terpisah dari pengucapan lafazh adzan, yakni sebelumnya, bukan menyatu dengannya, maka ia bukan bid'ah. "Baru disebut bid'ah", tegas Kyai Faqih, "Kalau pengumandangan adzan itu bersamaan diiringi tetabuhan dari bedhug dan kenthongan." Jadi bila lafazh keagungan Allah ditingkahi bunyi "Thok thek thok brung gedhebrung brung..", itu baru bid'ah. Lha ini kan terpisah.
Pada suatu hari Mbah Hasyim diundang hadir ke Pesantren Maskumambang. Maka sejak tiga hari sebelum acara, Kyai Faqih mengutus banyak santri menemui para Takmir Masjid se-Gresik agar berkenan mencopoti bedhug dan terlebih kenthongan mereka lalu menyembunyikannya sementara demi menghormati Mbah Hasyim.
Oleh: Salim A Fillah