Sehubungan dengan tema ini, karena terinspirasi pesan seorang guru yang berpesan kepada penulis. Dalam pesan ini berisi, agar menjaga pesan Nabi Muhammad, berisi: betapa banyak orang yang membaca Al Qur'an, sementara itu Al Quran telah melaknatnya. Bagi kebanyakan pembaca memahami teks hadis ini dikaitkan dengan tata cara membaca Al Quran, seperti bacaan tajwid dan makharijul huruf. Selama ini belum ada yang mengaitkan teks hadis ini dengan model menginternalisasikan nilai dan membentuk kesadaran teks kewahyuan pada sikap dan perilaku subjek yang hendak berupaya dekat dengan Allah.
Secara akademis, pembaca teks kewahyuan tidak mudah mengartikan teks Al Quran. Yang bisa secara langsung dan valid memahami maksud makna kewahyuan dari teks Al Quran, adalah Allah sendiri. Karenanya, banyak model penafsiran yang berbeda beda antara Ulama yang satu dengan Ulama yang lainnya. Perbedaan ini sering menjadi sumber diskursus di kalangan umat Islam. Dalam konteks mengukur kebenaran, telah menimbulkan dua sikap keberagamaan: pertama, sikap konfrontatif terhadap perbedaan penafsiran. Kedua, sikap merayakan perbedaan terhadap penafsiran teks kewahyuan.
Oleh karena itu, dalam upaya meminimalisir dua sikap ini, sebaiknya para pembaca tidak mengambil posisi di antara dua perbedaan. Selain itu, ada keputusan fundamental tentang teks kewahyuan, yaitu Allah sebagai sumber muthlak kebenaran. Dengan demikian, yang lainnya, adalah berupaya memperkirakan kebenaran teks kewahyuan. Model pembacaan yang paling dekat, adalah dengan memasuki kawasan teks kewahyuan dan merasakan kawasan yang ditunjuk teks relasinya dengan prinsip suci ketuhanan, kemanusiaan, dan kesemestaan. Karena sumber mutlak kebenaran makna, adalah Allah, maka model pembacaan belum menjamin ketepatan interpretatif dari para pembaca teks kewahyuan Al Qur'an.
Dari sini model pembacaan ada dua: pembacaan melalui jalan yang lebih dekat dan melalui jalan yang jauh. Jalan yang dekat, dengan memasuki kawasan kewahyuan. Jalan yang jauh, dengan merujuk pada penerjemahan para penafsir atau mereka yang sudah pernah memasuki kawasan kewahyuan. Jalan yang jauh ini bisa dengan melalui jalan para Ulama dan pembaca yang lain. Sedangkan, jalan yang dekat bisa melalui dengan mengalami langsung berada di kawasan kewahyuan. Misalnya, dengan mengambil kawasan kewahyuan kata yang terdapat dalam Al Qur'an: wajaahidu biamwalikum wa amfusikum fisabilillah.
Dalam konteks ayat yang masyhur di kalangan umat Islam tersebut, seseorang bisa memasuki kawasan teks kewahyuan dengan cara berikut: melakukan langsung berkorban dengan harta dan segenap jiwa dan raga untuk selalu berkomitmen berada di Jalan Allah. Dalam konteks ini, istilah harta dan segenap jiwa dan raga bisa berupa komitmen menapaki jejak kenabian tanpa cindera mata, tanpa penghargaan, pujian, dan hal hal yang terkait dengan materi atau kehendak kekuasaan. Jejak yang bukan jejak kenabian ini disebut dengan jejak yang digelayuti rasa cemburu yang melahirkan penyakit hati, iri, benci dan kekerasan personal dan komunal.
Sedangkan, jejak kenabian tanpa cindera mata, adalah totalitas pengabdian, pembebasan, dan pencerahan kepada umat manusia. Hal ini akan dirasakan apabila antara pengikut jejak jejak kenabian dan subjek dampingan jejak kenabian memasuki ruang kawasan kewahyuan, seperti prinsip menjaga: relasi suci kosmologis, kemanusiaan, keadilan dan persamaan antar umat manusia. Ruang kawasan kewahyuan ini yang disebutkan dalam teks Al Quran dengan Istilah kawasan jalan Allah (Sabilillah).
Jika ada yang menolak kata sabilillah, adalah bentuk kawasan kewahyuan yang diantaranya meliputi prinsip tersebut, lalu persoalann yang dapat dijadikan pertanyaan, jalan Allah yang mana yang dapat dijadikan alat ukur atau instrumen para pengikut jejak kenabian. Karena ketidak jelasan menunjuk instrumen kawasan kewahyuan pada teks kewahyuan, maka para penafsir dan pembaca teks kewahyuan berebut penafsiran yang disematkan pada kepentingan kelompok sendiri.
Sehubungan dengan persoalan ini, para Walisongo mengambil bentuk kawasan kewahyuan, berupa prinsip prinsip keutamaan tersebut di atas (relasi kosmologi, kemanusiaan, keadilan, dan persamaan). Paradigma pengambilan bentuk kawasan kewahyuan perspektif Walisongo inilah yang menjadi fundasi pribumisasi Islam Walisongo. Karenanya, para pengikut Walisongo lebih elegan dan terbuka terhadap perbedaan dan selalu merayakan perbedaan di tengah kompleksitas kehidupan masyarakat.
Dalam realitas keberagamaan dan studi teks kewahyuan, telah banyak ditemukan konflik agama dan kekerasan tersistem. Hal ini dikarenakan adanya pemahaman spekulatif yang berhenti pada teks kewahyuan, penafsiran teks kewahyuan dengan teks penafsiran yang tercerabut dari akar kawasan kewahyuan. Dengan demikian, teks kewahyuan justru menjadi penghalang prinsip nilai yang ditunjuk teks kewahyuan. Model penafsiran seperti ini, lebih mudah dijadikan sebagai sumber konflik dan ideologis. Model penafsiran yang seperti ini, juga akan mudah dibelokkan oleh para pembajak agama kenabian dan kewahyuan untuk kepentingan kekuasaan dan kapitalisme global.
Jadi, teks sabilillah sebagaimana tersebut di atas memiliki kawasan teks, berupa komitmen sikap pada prinsip menjaga relasi suci kosmologis, menjaga kemanusiaan, persamaan, dan keadilan. Karenanya, jika sessorang tidak berada pada komitmen sikap pada prinsip tersebut, maka telah berada di luar kawasan jalan Allah. Jalan Allah tidak hanya Ibadah murni merasa dihadapan Allah (ihsan) yang terkait dengan rukun Islam dan keyakinan kepada Allah. Selain jalan Allah berupa kawasan ritual ini, juga bisa berbentuk sikap komitmen menjaga relasi kosmologis, kemanusiaan, keadilan, dan persamaan.
Sehubungan dengan dua pemaknaan kewahyuan sebagaimana yang diuraikan di atas, sama sama bermanfaat, namun yang bisa berlaku universal, adalah dengan segera berjalan pada jalan sebuah kawasan kewahyuan. Karena dengan lelaku atau segera mengalami berada dikawasan kewahyuan, maka seseorang akan merasakan nilai kenabian dan berada dalam kehendak Allah. Sebagai contoh, seseorang akan mengalami kesulitan merasakan arti kemanusiaan hanya dengan mendiskusikan pandangan tentang kemanusiaan, Namun seseorang akan merasakan berada dalam kepedulian dan merasakan nilai kemanusiaan, apabila sedang turut berinteraksi dengan gerakan dan pergolakan memperjuangkan nilai kemanusiaan.
Dalam konteks kawasan kewahyuan ini, kita dapat memahami, bahwa Al Quran berbeda dengan kitab kitab yang lain atau juga berbeda dengan arsip atau dokumentasi perkantoran atau pedoman kerja. Al Quran merupakan teks penjelas yang langaung melalui firman Allah, berisi prinsip nilai dan prinsip yang secara langsung melekat pada diri manusia. Artinya, sebelum ada prinsip yang ditunjuk wahyu, prinsip itu telah mengakar kuat dalam kepribadian manusia relasinya dengan Allah dan unsur kesemestaan.
Membumikan Kawasan Kewahyuan
Walisongo memiliki kekhasan yang berbeda dengan para Ulama tasawuf yang lain di Timur. Para Ulama tasawuf telah banyak menafsirkan kewalian dengan pengertian yang sangat spekulatif yang sulit dimaknai oleh masyarakat awam. Sedangkan, Walisongo mengaktualkan makna kewalian tanpa mendefinisikan arti kewalian, namun lebih menawarkan pada sikap melakukan pembebasan dan pencerahan kepada masyarakat. Peran ini, sama dengan yang dilakukan oleh para Nabi Pembebas dan pencerah.
Para Walisongo telah menjadikan keberadaannya sebagai mediator yang menghubungkan antara raja ke rakyat dan rakyat ke raja. Selain itu, Walisongo juga mampu menguatkan kedua relasi antara raja dan rakyat dengan Allah Jalla Jalaluhu. Implikasi adanya bangunan antara relasi raja-rakyat dengan Allah, adalah perlunya menerima prinsip kebenaran universal, karena setiap kebenaran universal bersumber dari Allah. Prinsip kebenaran universal ini, telah ditekankan dalam teks kewahyuan yang tidak akan berbeda dengan model kearifan lokal dan prinsip nilai kebenaran ideologi-ideologi besar dunia.
Meskipun demikian, Walisongo memahami prinsip ritual dan model peribadatan yang diajarkan Nabi Muhammad. Hal ini telah disampaikan kepada mereka yang secara khusus ingin mengikuti ritual keberagamaan Walisongo. Aktivitas ritualistik ini pun telah didesain oleh Walisongo, berupa ritual keagamaan agama Islam yang ramah terhadap kearifan lokal dan pandangan pandangan masyafakat jawa yang sentralistik terhadap ketokohan seseorang.
Di luar konteks ritualistik, Walisongo secara langsung mampu memadukan teks kewahyuan dengan prinsip kebenaran yang bersifat universal. misalnya, yang terkait dengan prinsip sistem kekuasaan mutlak Allah, kemanusiaan, keadilan, dan persamaan. Karenanya, untuk menyebut sistem kekuasaan mutlak ini, para Walisongo menyebutnya dengan istilah Gusti Ingkang Akarya Jagat, Gusti Ingkang Murbahing Dumadi. Banyak istilah untuk menyebut Asma Allah di beberapa suluk para Walisongo dengan menggunakan istilah masyarakat Jawa.
Jadi, pribumisasi Islam Walisongo bukan merupakan model pribumisasi yang liar dan tidak berdasarkan paradigma yang matang. Pribumisasi Islam Walisongo merupakan model pribumisasi yang memiliki akar sejarah kenabian dan kerasulan Muhammad. Selain itu, pribumisasi walisongo juga memiliki akar sejarah dari kultur masyarakat Jawa. Pribumiaasi walisongo ingin membentuk kesadaran manusia memilih jalan Allah, berupa jalan yang berada pada kawasan kewahyuan. Kawasan kewahyuan bukan yang berhenti pada penafsir dan kepentingan komunal atau kepentingan para penguasa pembajak makna suci pada kawasan suci kewahyuan.
Sama seperti para Nabi pembebas, bermula dari kawasan suci ini ingin mengajak siapa pun melakukan yang terbaik untuk kelangsungan relasi suci kosmologis, kemanusiaan, keadilan dan persamaan. Karenanya, model pribumisasi walisongo bersifat terbuka dan siap berdialog dengan model kearifan lokal dan ideologi ideologi besar dunia. Jika sesuai bisa berintegrasi, namun jika tidak sesuai, maka tetap bisa beradaptasi. Yang terpenting jangan ada kekerasan dan ancaman kemanusiaan di tengah kehidupan umat manusia. Model pribumisasi Islam ini yang sekarang menjadi sumber Islam Nusantara.
Penulis adalah Khadim Omah Kongkow As-Syiffah Pamotan Rembang, Dosen FITK UIN Walisongo Semarang, Penulis buku Suluk Kiai Cebolek dan Islam Geger Kendeng. [Sumber: nu.or.id]