Mayoritas umat Islam di dunia, memperingati Isra’ dan Mi’raj setiap tanggal 27 Rajab, kadang sebelumnya dan kadang sesudahnya. Dalam acara Isra’ dan Mi’raj biasanya seorang ulama dan ustadz membicarakan tentang peristiwa tersebut serta sekian banyak pelajaran yang dapat diambil dari peristiwa agung itu. Akhir-akhir ini telah beredar fatwa beberapa ulama Wahabi, seperti fatwa Ibnu ‘Utsaimin dan lain-lain, yang isinya mengharamkan peringatan acara Isra’ dan Mi’raj.
Berikut fatwa Syaikh Utsaimin yang perlu kita tanggapi:
“Isro' dan Mi'roj, adakah Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat beliau merayakannya?!
Syeikh Utsaimin mengatakan:
Berikut fatwa Syaikh Utsaimin yang perlu kita tanggapi:
“Isro' dan Mi'roj, adakah Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat beliau merayakannya?!
Syeikh Utsaimin mengatakan:
Adapun malam 27 Rajab, memang orang-orang menganggap bahwa itu malam diangkatnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk menghadap Allah azza wajall. Namun data ini tidak valid secara historis, dan semua yang tidak valid itu batil, dan apapun yang dibangun di atas kebatilan adalah batil.”
TANGGAPAN: Dalam kajian ilmu sejarah, riwayat yang disampaikan tidak harus berupa riwayat yang shahih. Akan tetapi cukup dengan riwayat yang mursal, munqathi’, mu’dhal, dha’if dan munkar, dan yang penting bukan riwayat palsu atau maudhu’. Hal ini sebagaimana banyak dikupas oleh para ulama dalam ilmu mushthalah al-hadits dan sejarah. Pernyataan Utsaimin, bahwa acara Isra’ dan Mi’raj yang diadakan oleh kaum Muslimin sebagai sesuatu yang batil, adalah tidak benar. Tidak ada ulama yang mengharamkan acara Isra’ dan Mi’raj dan semacamnya seperti acara Maulid setiap tahun. Bahkan Syaikh Ibnu Taimiyah, ulama panutan Utsaimin, menilai perayaan Maulid sebagai acara yang mendatangkan pahala yang agung, karena tujuan yang baik pelakunya dan karena mengagungkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikian pula dalam acara Isra’ dan Mi’raj.
Utsaimin berkata:
“Kemudian, seandainya kita katakan data itu valid, maka tetap saja tidak boleh (bagi siapapun) membuat-buat syi'ar perayaan atau bentuk ibadah apapun di malam itu, karena hal itu tidak pernah datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.”
TANGGAPAN: Dalam acara Isra’ dan Mi’raj, kami umat Islam tidak membuat ibadah khusus seperti shalat yang lengkap dengan syarat dan rukunnya. Kami hanya mengadakan pertemuan membaca al-Qur’an dan shalawat bersama, lalu diisi dengan ceramah tentang peristiwa Isra’ dan Mi’raj yang agung. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ اللَّهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ
“Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah". Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur”. (QS Ibrahim : 5).
Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk mengingatkan umatnya tentang hari-hari Allah. Maksudnya tentang hari-hari di mana Allah memberikan kenikmatan kepada mereka. Tentu saja, dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj terdapat banyak kenikmatan agung yang diberikan kepada umat Islam, salah satunya yaitu turunnya perintah shalat lima waktu.
Utsaimin berkata:
“Jika hal tersebut perayaan dan ritual ibadah) tidak pernah datang dari beliau sebagai pelaku peristiwa isro' mi'roj, dan tidak pernah datang pula dari para sahabat beliau, yang mereka adalah orang-orang terdekat beliau, dan orang-orang yang paling semangat mengikuti sunnah dan syari'at beliau, maka bagaimana dibolehkan bagi kita membuat-buat sesuatu yang tidak pernah dilakukan di zaman beliau dan para sahabat beliau?! [Fatawa Nurun Alad Darb 1/582]."
TANGGAPAN: Perkataan Utsaimin di atas jelas keliru dan batil. Karena dalil dalam agama tidak hanya perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan sahabatnya, akan tetapi masih ada dalil Qiyas, Ijma’, Istihsan, Mashalih Mursalah dan lain-lain sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab ushul fiqih.
Syaikh Ibnu Taimiyah, menyikapi acara Maulid dengan pandangan bahwa orang yang melakukannya akan mendapatkan pahala yang agung karena dua alasan; 1, tujuannya yang baik, dan 2, karena pasti bertujuan mengagungkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Fatwa Ibnu Taimiyah tersebut sejalan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menyikapi persoalan baru yang dilakukan oleh para sahabatnya. Misalnya:
عَنْ سَيِّدِنَا ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فِيْ آخِرِ اللَّيْلِ فَصَلَّيْتُ خَلْفَهُ فَأَخَذَ بِيَدِيْ فَجَرَّنِيْ حَتَّى جَعَلَنِيْ حِذَاءَهُ فَلَمَّا أَقْبَلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى صَلاَتِهِ خَنِسْتُ فَصَلىَّ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَلَمَّا انْصَرَفْتُ قَالَ: (مَا شَأْنُكَ؟ أَجْعَلُكَ حِذَائِيْ فَتَخْنَسُ) فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَوَ يَنْبَغِيْ لأَحَدٍ أَنْ يُصَلِّيَ بِحِذَائِكَ وَأَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ الَّذِيْ أَعْطَاكَ اللهُ؟ قَالَ: فَأَعْجَبَهُ فَدَعَا لِيْ أَنْ يَزِيْدَنِيَ الله ُعِلْمًا وَفِقْهًا. رواه أحمد (3061)، والحاكم (6279) وقال: حديث صحيح على شرط البخاري ومسلم ووافقه الحافظ الذهبي، وقال الحافظ الهيثمي في مجمع الزوائد (9/462): رجاله رجال الصحيح.
“Sayyidina Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Aku mendatangi Rasulullah pada akhir malam, lalu aku shalat di belakangnya. Ternyata beliau mengambil tanganku dan menarikku lurus ke sebelahnya. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memulai shalatnya, aku mundur ke belakang, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyelesaikan shalatnya. Setelah aku mau pulang, beliau berkata: “Ada apa, aku tempatkan kamu lurus di sebelahku, tetapi kamu malah mundur?” Aku menjawab: “Ya Rasulullah, tidak selayaknya bagi seseorang shalat lurus di sebelahmu sedang engkau Rasulullah yang telah menerima karunia dari Allah”. Ibn Abbas berkata: “Ternyata beliau senang dengan jawabanku, lalu mendoakanku agar Allah senantiasa menambah ilmu dan pengertianku terhadap agama”.
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (3061).
Hadits ini membolehkan berijtihad membuat perkara baru dalam agama apabila sesuai dengan syara’. Ibn Abbas mundur ke belakang berdasarkan ijtihadnya, padahal sebelumnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menariknya berdiri lurus di sebelah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, ternyata beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menegurnya, bahkan merasa senang dan memberinya hadiah doa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga tidak bertanya kepada Ibnu Abbas, mana dalil al-Qur’an dan Sunnah yang menjadi dasar perbuatanmu? Tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam justru bertanya apa alasan perbuatanmu? Ternyata alasan, karena memuliakan dan mengagungkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dapat diterima dalam hal menyelesihi apa yang diajarkan oleh beliau. Hal ini pula yang mendasari Ibnu Taimiyah menilai positif perayaan Maulid.
Dalam hadits lain diriwayatkan:
وَعَنْ سَيِّدِنَا عَلِي رضي الله عنه قَالَ: كَانَ أَبُوْ بَكْرٍ يُخَافِتُ بِصَوْتِهِ إِذَا قَرَأَ وَكَانَ عُمَرُ يَجْهَرُ بِقِرَاءَتِهِ وَكَانَ عَمَّارٌ إِذَا قَرَأَ يَأْخُذُ مِنْ هَذِهِ السُّوْرَةِ وَهَذِهِ السُوْرَةِ فَذُكَِر ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ ِلأَبِيْ بَكْرٍ: «لِمَ تُخَافِتُ؟» قَالَ: إِنِّيْ أُسْمِعُ مَنْ أُنَاجِيْ وَقَالَ لِعُمَرَ: «لِمَ تَجْهَرُ بِقِرَاءَتِكَ؟» قَالَ: أُفْزِعُ الشَّيْطَانَ وَأُوْقِظُ الْوَسْنَانَ وَقَالَ لِعَمَّارٍ: «لِمَ تَأْخُذُ مِنْ هَذِهِ السُّوْرَةَ وَهَذِهِ السُوْرَةِ؟» قَالَ: أَتَسْمَعُنِيْ أَخْلِطُ بِهِ مَا لَيْسَ مِنْهُ؟ قَالَ: ( لاَ ) ثُمَّ قَالَ: «فَكُلُّهُ طَيِّبٌ». رواه أحمد (865)، قال الحافظ الهيثمي في مجمع الزوائد (2/544): رجاله ثقات.
“Sayidina Ali radhiyallahu ‘anhu berkata: “Abu Bakar bila membaca al-Qur’an dengan suara lirih. Sedangkan Umar dengan suara keras. Dan Ammar apabila membaca al-Qur’an, mencampur surah ini dengan surah itu. Kemudian hal itu dilaporkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Abu Bakar: “Mengapa kamu membaca dengan suara lirih?” Ia menjawab: “Allah dapat mendengar suaraku walaupun lirih”. Lalu bertanya kepada Umar: “Mengapa kamu membaca dengan suara keras?” Umar menjawab: “Aku mengusir syetan dan menghilangkan kantuk”. Lalu beliau bertanya kepada Ammar: “Mengapa kamu mencampur surah ini dengan surah itu?” Ammar menjawab: “Apakah engkau pernah mendengarku mencampurnya dengan sesuatu yang bukan al-Qur’an?” Beliau menjawab: “Tidak”. Lalu beliau bersabda: “Semuanya baik”.
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (865).
Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat bid’ah hasanah dalam agama. Ketiga sahabat itu melakukan ibadah dengan caranya sendiri berdasarkan ijtihadnya masing-masing, sehingga sebagian sahabat melaporkan cara ibadah mereka bertiga yang berbeda-beda itu, dan ternyata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membenarkan dan menilai semuanya baik serta tidak ada yang buruk. Dari sini dapat disimpulkan, bahwa tidak selamanya sesuatu yang belum diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pasti buruk atau keliru. Dalam kasus di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bertanya kepada para sahabat tersebut, mana dalil al-Qur’an Sunnah kalian atas perbuatan kalian? Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam justru bertanya apa alasan atau dalil ijtihad mereka dalam perbuatan itu? Seperti inilah cara ijtihad para ulama dalam menghukumi setiap perkara baru dalam agama, yaitu dengan melihat dasar ijtihad dan alasan syar’iy masyarakat, bukan pertanyaan klasik wahabi yang keliru, yaitu mana dalil al-Qur’an dan haditsmu. Wallahu a’lam.
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (3061).
Hadits ini membolehkan berijtihad membuat perkara baru dalam agama apabila sesuai dengan syara’. Ibn Abbas mundur ke belakang berdasarkan ijtihadnya, padahal sebelumnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menariknya berdiri lurus di sebelah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, ternyata beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menegurnya, bahkan merasa senang dan memberinya hadiah doa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga tidak bertanya kepada Ibnu Abbas, mana dalil al-Qur’an dan Sunnah yang menjadi dasar perbuatanmu? Tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam justru bertanya apa alasan perbuatanmu? Ternyata alasan, karena memuliakan dan mengagungkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dapat diterima dalam hal menyelesihi apa yang diajarkan oleh beliau. Hal ini pula yang mendasari Ibnu Taimiyah menilai positif perayaan Maulid.
Dalam hadits lain diriwayatkan:
وَعَنْ سَيِّدِنَا عَلِي رضي الله عنه قَالَ: كَانَ أَبُوْ بَكْرٍ يُخَافِتُ بِصَوْتِهِ إِذَا قَرَأَ وَكَانَ عُمَرُ يَجْهَرُ بِقِرَاءَتِهِ وَكَانَ عَمَّارٌ إِذَا قَرَأَ يَأْخُذُ مِنْ هَذِهِ السُّوْرَةِ وَهَذِهِ السُوْرَةِ فَذُكَِر ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ ِلأَبِيْ بَكْرٍ: «لِمَ تُخَافِتُ؟» قَالَ: إِنِّيْ أُسْمِعُ مَنْ أُنَاجِيْ وَقَالَ لِعُمَرَ: «لِمَ تَجْهَرُ بِقِرَاءَتِكَ؟» قَالَ: أُفْزِعُ الشَّيْطَانَ وَأُوْقِظُ الْوَسْنَانَ وَقَالَ لِعَمَّارٍ: «لِمَ تَأْخُذُ مِنْ هَذِهِ السُّوْرَةَ وَهَذِهِ السُوْرَةِ؟» قَالَ: أَتَسْمَعُنِيْ أَخْلِطُ بِهِ مَا لَيْسَ مِنْهُ؟ قَالَ: ( لاَ ) ثُمَّ قَالَ: «فَكُلُّهُ طَيِّبٌ». رواه أحمد (865)، قال الحافظ الهيثمي في مجمع الزوائد (2/544): رجاله ثقات.
“Sayidina Ali radhiyallahu ‘anhu berkata: “Abu Bakar bila membaca al-Qur’an dengan suara lirih. Sedangkan Umar dengan suara keras. Dan Ammar apabila membaca al-Qur’an, mencampur surah ini dengan surah itu. Kemudian hal itu dilaporkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Abu Bakar: “Mengapa kamu membaca dengan suara lirih?” Ia menjawab: “Allah dapat mendengar suaraku walaupun lirih”. Lalu bertanya kepada Umar: “Mengapa kamu membaca dengan suara keras?” Umar menjawab: “Aku mengusir syetan dan menghilangkan kantuk”. Lalu beliau bertanya kepada Ammar: “Mengapa kamu mencampur surah ini dengan surah itu?” Ammar menjawab: “Apakah engkau pernah mendengarku mencampurnya dengan sesuatu yang bukan al-Qur’an?” Beliau menjawab: “Tidak”. Lalu beliau bersabda: “Semuanya baik”.
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (865).
Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat bid’ah hasanah dalam agama. Ketiga sahabat itu melakukan ibadah dengan caranya sendiri berdasarkan ijtihadnya masing-masing, sehingga sebagian sahabat melaporkan cara ibadah mereka bertiga yang berbeda-beda itu, dan ternyata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membenarkan dan menilai semuanya baik serta tidak ada yang buruk. Dari sini dapat disimpulkan, bahwa tidak selamanya sesuatu yang belum diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pasti buruk atau keliru. Dalam kasus di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bertanya kepada para sahabat tersebut, mana dalil al-Qur’an Sunnah kalian atas perbuatan kalian? Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam justru bertanya apa alasan atau dalil ijtihad mereka dalam perbuatan itu? Seperti inilah cara ijtihad para ulama dalam menghukumi setiap perkara baru dalam agama, yaitu dengan melihat dasar ijtihad dan alasan syar’iy masyarakat, bukan pertanyaan klasik wahabi yang keliru, yaitu mana dalil al-Qur’an dan haditsmu. Wallahu a’lam.
oleh: KH. Idrus Romli