Arab Jauh Kelihatan, Indonesia Dekat Tertutup Asap

Arab Jauh Kelihatan, Indonesia Dekat Tertutup Asap

Ada peribahasa yang sangat akrab di telinga saya sejak remaja; gajah di pelupuk mata tidak kelihatan, kuman di seberang lautan tampak jelas kelihatan. Peribahasa ini sering dikiaskan terhadap kesalahan lain yang mudah diketahui, sedang kesalahan sendiri tidak terasakan.

Maksud sinisnya untuk mengungkapkan tabiat kita yang suka melihat kesalahan lain dan enggan melihat kesalan diri sendiri. Kita memang sering tak menyadari jika diri ini bergelimang salah dan dosa. Kita sering lupa akan keberadaan diri bahwa 'kita dibenihkan dari dosa'.

Ungkapan ini saya beri tanda petik karena hasil mengutip dari Caping (Catatan Pinggir) Goenawan Mohamad -- yang saya lupa judulnya. Ringkasnya, manusia itu tempatnya salah dan dosa. Jadi, kita jangan suka sibuk mencari kesalahan lain.

Prasangka kita kepada lain itu juga belum tentu benar adanya. Hal ini malah akan menambah dosa kita. Naudzubillah. Ups, judul catatan saya di atas ini juga terinspirasi dari peribahasa itu. Cuma sedikit saya plesetkan agar sedap didengarnya. Atau, biar gurih-gurih enak rasanya.

Juga, biar lebih sensasional. Sebab, sekarang media massa, apalagi media sosial (medsos) sukanya mengangkat berita-berita sensasional atau bahkan hoax sekalipun. Alhasil, saya pun mafhum, barangkali ini sudah zamannya.

Tapi percayalah, untuk catatan ini, saya jamin anti-hoax. Ya, catatan saya ini; Arab Jauh Kelihatan, Indonesia Dekat Tertutup Asap. Saya pilih Arab atau ArabSaudi karena hari-hari ini negeri itu jadi tema pembicaraan masyarakat dunia. Bahasa gaulnya, lagi menjadi trending topic.

Dan, apalagi jikalau tidak menyoal tentang musibah ambruknya crane di Masjidil Haram dan Insiden Jumrah di Mina --yang menewaskan ratusan jamaah itu-- di musim haji tahun 2015 ini. Dalam menyoal musibah tersebut, kalau boleh saya memilah, ada dua kutup perbedaan kuat di tengah masyarakat.

Kalau boleh saya namai yang satu 'kelompok sedih', dan yang kedua 'kelompok senang'. Untuk kelompok sedih, mereka ini merasa begitu prihatin dan berduka mendalam atas musibah yang menimpa saudaranya seiman di Tanah Suci. Dengan tulus dan ikhlas, mereka ini berdoa untuk korban meninggal sebagai kekasih-Nya.

Dengan tulus dan ikhlas, mereka ini berdoa untuk korban meninggal sebagai syuhada. Dengan tulus dan ikhlas, mereka ini berdoa untuk yang meninggal diangkat pada derajat yang tinggi; di tempatkan di surga-Nya. Allahu Akbar. Penuh simpati dan peduli.

Mereka ini ramai-ramai menggelar shalat ghaib. Mereka ini juga mendoakan keluarga yang ditinggalkan ditambahkan kekuatan iman. Juga, ikut merasa iba dengan Saudi--yang telah berat menanggung amanah berjuta jamaah dari berbagai penjuru dunia.


Mereka ini juga berharap setelah musibah, pemerintah Saudi terus berbenah diri. Meningkatkan kualitas pelayan dan keselamatan jamaah. Mereka ini memberi masukan kepada Saudi dengan santun; tanpa kritik destruktif dan caci maki. Amboi.

Nah, untuk kelompok senang, mereka itu amat girang begitu mendengar musibah terjadi. Itu bisa saya ketahui di sosmed alias sosial media. Mereka itu umumnya musuh Islam atau anti-Arab Saudi. Atau kelompok Islam yang gemar gegeran, memusuhi saudaranya sendiri. Atau lagi, mereka itu yang hendak mengambil kesempatan untuk mengepakkan "misi" dan "kepentingannya" di Saudi.

Mendengar musibah terjadi, mereka itu langsung bersorak, "Horeee...ratusan jamaah haji mati saling injak." "Horee...Arab bin unta mampus." "Rasain loe." Begitulah diantara status mereka itu yang saya baca di sosmed. Dan, setelah melakukan selebrasi atas kejadian itu mereka pun atur strategi.

Mereka bilang Saudi tak becus, bahlul, goblok, dan umpatan semacamnya mem-bully Saudi. Lagi-lagi, ini saya ketahui di media. Lalu, ujung-ujungnya mereka menuntut pengelolaan haji dilakukan secara bersama. Ada udang di balik batu rupanya; fulus!

Ini yang menggelikan. Ada sejumlah orang Indonesia meminta agar pemerintah kita ikut mengelola haji. Apa mereka itu tidak salah ucap. Apa tidak dengar atau pura-pura tidak dengar, bahwa mengurus haji (reguler), pemerintah kita dari dulu hingga sekarang tak ada beresnya. Mulai dari daerah sampai pusat konon banyak "kutipan".

Belum lagi soal korupsi dana haji yang terus terjadi. Ampun. Oleh karena itu, mendengar usulan tadi saya cuma mesem. Mesem karena geli saja. Gimana tak geli, melihat orang yang mengaku dirinya pengamat, berbicara begitu entengnya di stasiun televisi mengusulkan itu.

"Indonesia sebagai pengirim jamaah haji dan umrah terbesar di dunia, maka pemerintah Indonesia harus mendesak Saudi untuk kita ikut dalam pengelolaan haji." Kata orang Surabaya, "wong iki ngomong, ta kemu (orang ini bicara, atau berkumur)."

Sebab, sebagai seorang pengamat bicaranya kok asal jeplak. Maaf. Apa tak dipikirkan variabel regulasi yang menyertainya begitu banyak untuk itu. Belum lagi soal kedaulatan negara, bagi Saudi juga bukan perkara gampang untuk membedahnya. Lalu, dipikir mengelola jamaah 2 juta itu mudah.

Mengelola jamaah itu bukan hanya setahun sekali di musim haji. Saudi ngurus jutaan jamaah itu nyaris setiap hari dalam pelaksanaan ibadah umrah. Tengoklah sekarang, Indonesia membawa jamaah sedikit saja, ada yang hilang sampai berhari-hari lamanya. Saya baca berita hari ini di media, ada jamaah yang hilang belum diketemukan. Padahal, rombongan haji Indonesia membawa banyak petugas haji.

Jika tak salah, tahun ini ada sekitar 4.000 orang. Ini belum termasuk pelibatan mutawif-- yang sudah jadi mukimin di Saudi. Malah, musim haji sekarang ini ikut langsung menteri agama bersama rombongannya. Namanya rombongan, tentu, banyak pejabat dan orang penting bersamanya. Maaf.

Kalau saya boleh membandingkan, Indonesia mengamankan suporter bola yang masih sebangsa saja, sering ricuh dan tawuran. Sedang jumlah suporter bola paling banyak juga cuma 50 ribu orang. Maka, lalu apa jadinya, jika kita harus mengurus 2 juta jamaah sampai waktu yang hampir 2 bulan lamanya?

"Oalaaah, membagi sembako cuma ratusan orang saja sudah menelan korban jiwa. Kok mau bergaya, ikut ngurus jutaan jamaah," kata seorang jamaah saya membincang "niat hoax" sekelompok pihak ikut dalam pengajian haji itu.

"Betul. Orang Indonesia itu sukanya berlagak. Ngurus diri sendiri saja tidak bisa, mau urus orang lain. Pembagian daging kurban kemarin cuma beberapa orang yang datang, tapi sudah semrawut dan kacau.

Beberapa orang miskin terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena pingsan akibat berdesakan berebut daging kurban," timpal jamaah yang lain. Mendengar celoteh jamaah ini saya bukan hanya mesem, tapi kali ini tambah ngeklek. Tertawa terpingkal-pingkal.

Sungguh, tidak kuat saya menahan geli dengan semua itu. Lha banyak hal di negeri ini belum beres, kok hendak ngurus tanggung jawab negara lain. Kata orang jawa, "Apa ora ngilo githoke kui (apa tidak bercermin tengkuknya mereka itu)."

Maka, marilah kita urus negeri kita sendiri. Sekarang yang urgen adalah penanggulangan bencana asap. Ini penting. Tak apa kita lupakan sejenak perkara rupiah terus meroket anjlok, ekonomi lemah syahwat, daya beli masyarakat turun-temurun, harga sembako tinggi melonjak-lonjak.

Sebab, ribuan warga di Sumatera dan Kalimantan sekarang sudah susah hidupnya. Bencana asap juga sudah menelan banyak korban. Belum lagi mengganggu penerbangan. Dampaknya juga mengganggu masyarakat negara tetangga; Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalam. Dan bencana asap belum bisa dipadamkan, kok jauh-jauh kita hendak ngurusi persoalan di Arab.

"Ini yang dinamakan Arab jauh kelihatan, Indonesia dekat tertutup asap. Eh keliru, kuman di seberang lautan jelas kelihatan, gajah di pelupuk mata tiada kelihatan," canda saya kepada teman jamaah seusai pengajian Ahad pagi kemarin.

Oleh: Soenarwoto Prono Leksono (Penulis Tinggal di Surabaya)
Sumber: republika, edisi 29 September 2015


Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Back To Top