Mustafa Masyhur, sebagaimana dikutip oleh Muhammad AR (2007: 16), menyebut bahwa Islam adalah suatu nizam, suatu sistem hidup yang lengkap, syumul dan merangkumi setiap realitas kehidupan. Dengan kata lain, Islam adalah agama “terlengkap” yang pernah ada di muka bumi ini. Islam tidak hanya mengurusi masalah-masalah ritual (hablu minallah) semata, tapi juga membahas masalah keduniawian (hablu minan nas), semisal ekonomi, politik dan juga persoalan-persoalan kenegaraan.
Allah Swt telah menyediakan rambu-rambu dan juga aturan-aturan dalam Al-Qur’an yang merupakan petunjuk bagi manusia. Sebagaimana diuraikan oleh Zainuddin Ali (2009), bahwa dalam Al-Qur’anmengandung ayat-ayat tentang ibadah (shalat, puasa, haji, zakat, dll); ayat tentang masalah keluarga (perkawinan, perceraian dan hak waris); ayat tentang perdagangan, perekonomian, jual beli, sewa menyewa, gadai, perseroan dan kontrak; ayat tentang kriminologi; hubungan dengan non muslim; persoalan kehakiman dan pengadilan; dan juga ayat-ayat tentang kenegaraan.
Berdasarkan ulasan singkat di atas, adalah wajar jika Islam menolak paham Sekularisme yang merupakan produk Barat. Sebagaimana dikemukakan oleh Ashim Ahmad Ajillah (2003), bahwa inti dari sekularisme adalah pemisahan agama dari urusan negara, politik, sosial, undang-undang dan ekonomi sehingga membuat agama menjadi terkungkung dalam urusan ibadah saja.
Di sisi lain, Islam bukanlah agama yang “kaku” dan “jumud”. Meskipun Islam telah muncul pada 14 abad lalu, tapi Islam tidaklah ketinggalan zaman dan ia akan tetap relevan sepanjang zaman. Islam memberikan peluang bagi penganutnya untuk terus “berijtihad” guna menjawab berbagai persoalan-persoalan keagamaan.
Kebebasan Berpikir
Seandainya kebebasan “berpikir” (ijtihad) itu tidak ada, tentunya kita tidak akan pernah mengenal Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Mereka adalah pembangun mazhab-mazhab hukum dalam dunia Islam. Kemunculan orang-orang seperti mereka tentunya tidak terlepas dari “kebebasan berpikir”. Kebebasan berpikir (ijtihad) yang penulis maksud bukanlah kebebasan absolut yang tanpa batas dan aturan, tetapi kebebasan tersebut adalah kebebasan dalam bingkai Al-Qur’an dan Sunnah, di mana orang-orang yang berijitihad itu pun memiliki syarat-syarat tertentu.
Akibat adanya kebolehan ijtihad itu pula yang menyebabkan lahirnya mazhab-mazhab hukum yang berbeda dalam dunia Islam. Perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan interpretasi terhadap “teks-teks agama” di antara para imam mazhab. Jika kita telisik lebih jauh, perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu bukanlah hal baru yang muncul pada abad modern seperti sekarang ini, tetapi perbedaan tersebut telah ada pada awal-awal Islam. Jika kita buka buku-buku (kitab) Tarikh Tasyri’ tentu kita akan dapat memahami mengapa perbedaan itu bisa muncul. Di masa-masa awal pembentukan hukum Islam kita telah mengenal adanya dua kutup pemikiran, yaitu madrasah hadits di Madinah dan madrasah rakyu di Kufah. Imam Malik bin Anas adalah salah seorang imam yang fatwa-fatwanya banyak dipengaruhi oleh pemikiran Madinah (hadits), adapun imam Abu Hanifah lebih banyak terpengaruh oleh pemikiran Kufah (rasio).
Namun yang patut dicermati, perbedaan-perbedaan itu tidak sampai membuat kaum muslimin berpecah belah, tetapi mereka justru bisa saling menghargai satu sama lain. Jika pun ada perdebatan di antara mereka, maka perdebatan tersebut lebih menjurus pada perdebatan ilmiah, bukan permusuhan.
Di sisi lain, mazhab yang berbeda-beda itu juga saling terkait satu sama lain. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Imam Syafi’i pernah belajar kepada Imam Malik di Madinah, demikian pula Imam Ahmad bin Hanbal juga pernah belajar kepada Imam Syafi’i. Seandainya Imam Syafi’i itu seorang yang “fanatik” dalam bermazhab, tentunya beliau akan menjadi seorang Malikiyah karena beliau pernah belajar kepada Malik, dan bahkan sebelum berangkat ke Madinah, beliau telah hafal Kitab Al-Muwattha karangan Malik. Tapi ternyata Imam Syafi’i membangun mazhab sendiri yang berbeda dengan Malik. Demikian pula halnya dengan Imam Ahmad bin Hanbal, jika beliau “fanatik” tentunya beliau akan menjadi seorang Syafi’iyah karena pernah berguru kepada Imam Syafi’i, tapi sejarah menunjukkan bahwa Imam Ahmad justru membuat mazhab sendiri (mazhab Hanbali).
Sekarang mari kita berpikir, jika para Imam Mazhab saja bisa saling menghargai satu sama lain, lantas kenapa kita saling berseteru? Kita harus dengan lapang dada mengakui bahwa tidak ada mazhab yang benar 100%, demikian pula sebaliknya tidak ada mazhab yang salah 100%. Jika kita mengatakan bahwa mazhab A benar 100%, maka konsekwensinya mazhab B adalah salah 100%. Kita harus paham bahwa setiap mazhab mengandung kebenaran dan juga kekeliruan yang bersifat ijtihidayah. Jika kita belajar Fiqih Muqarran (perbandingan mazhab), kita tentu akan memahami kenapa Imam A menetapkan begini dan Imam B menetapkan begitu. Terkadang dalam satu persoalan, pendapat Imam A lebih kuat dari segi dalil jika dibanding dengan pendapat Imam B. Demikian seterusnya.
Wacana Penyeragaman Mazhab
Beberapa waktu lalu, berhembus informasi bahwa tata cara ibadah di Aceh harus memprioritaskan mazhab Syafi’i. Dan tata cara ibadah yang tidak mengacu pada Syafi’iyah juga dibolehkan selama dalam bingkai mazhab yang empat. Prioritas atas mazhab Syafi’iyah adalah sah-sah saja selama hal tersebut hanya sebatas anjuran guna meminimalisir perbedaan. Tetapi jika prioritas ini dimaksudkan sebagai sebuah upaya penyeragaman mazhab, maka ini harus dikaji ulang demi terjaganya hak-hak kaum muslimin (kebebasan bermazhab).
Salah satu negara di Asia Tenggara yang telah melaksanakan penyeragaman mazhab adalah Brunei Darussalam. Muthohhar menulis dalam bukunya, bahwa pada proklamasi kemerdekaan dari Inggris tahun 1984, Brunei Darussalam mengumumkan Islam di Brunei adalah Islam ala Ahlussunnah Waljama’ah dan bermazhab Syafi’i sebagai dasar negara. Oleh sebab itu, di negara Brunei tidak dibenarkan mazhab lain dan juga modernisme.
Di Aceh sendiri, secara teoritik mengakui empat mazhab mu’tabar, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Tapi dalam prakteknya, perbedaan ini masih menimbulkan persinggungan di sana sini. Kita berharap para ulama di Aceh mampu memberikan pencerahan kepada umat, bahwa tidak setiap yang berbeda itu sesat dan menyimpang. Jika memungkinkan, dalam memberikan pembelajaran agama, baik kepada santri di dayah, maupun kepada siswa di sekolah, hendaknya tidak dipadai hanya dengan satu mazhab saja, tetapi disajikan juga pendapat-pendapat dari mazhab lain. Boleh saja memprioritaskan satu mazhab seperti mazhab Syafi’iyah, tetapi perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan ulama juga harus dijelaskan agar tumbuh toleransi di benak kita semua.
Di akhir tulisan ini, kita semua berharap agar umat Islam di Aceh bisa bersatu dan saling menghargai satu sama lain. Kejayaan tidak akan pernah ada jika kita saling tuding dan menyalahkan, apalagi jika sampai bermusuhan. Semoga saja kita mampu menjadikan perbedaan-perbedaan yang ada sebagai “warna” yang memperindah persatuan, bukan justru dijadikan sebagai senjata untuk saling “melukai.”Wallahu Waliyut Taufiq. []
Oleh: Khairil Mizwar
Artikel ini sudah diterbitkan di Tabloid Pikiran Merdeka edisi 91, 21 September -5 Oktober 2015